CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 17 Agustus 2013

Sebiru Hari Ini - EdCoustic



Sebiru hari ini, birunya bagai langit terang benderang

Sebiru hati kita, bersama di sini

Seindah hari ini, indahnya bak permadani taman surga
Seindah hati kita, walau kita kan terpisah


Reff:
Bukankah hati kita telah lama menyatu
Dalam tali kisah persahabatan Illahi
Pegang erat tangan kita terakhir kalinya
Hapus air mata meski kita kan terpisah

Selamat jalan teman
Tetaplah berjuang
Semoga kita bertemu kembali
Kenang masa indah kita
Sebiru hari ini


Seindah hari ini, indahnya bak permadani taman surga
Seindah hati kita, walau kita kan terpisah

intro

Reff 2x

Seindah hari ini, indahnya bak permadani taman surga
Seindah hati kita, walau kita kan terpisah


Sebiru Hari Ini - EdCoustic 

Kamis, 15 Agustus 2013

Dan Kamu #10


Hello everybodyyyyy! Aku muncul kepermukaan setelah lama menyelam hahaha kangen aku gak? *enggak yaaa? :p* yaudah deh, aku lanjut cerpen aneh ku, maaf yaa yang udah nunggu. Aku nya sedang sibuk hahaha *emang ada yg nunggu ya?* Yaudah deh, daripada banyak cincong geje dari aku mending mulai aja ya. Bismilah :) 




Happy reading guys! 



Pervious 
Cklek! Pintu terbuka. 
"Mau bertemu dengan siapa, non?" Ucap mbok Mun ketika dia melihat seorang gadis yang tersenyum dan bewajah cantik namun pucat dan matanya bengkak seperti habis nangis. Pikirnya. 
"Hmm. Kak Willynya ad..." BRUK! 



Next! 



"Hmm. Kak Willynya ad..." BRUK! 
"Astagfirullah. Non!" Teriak mbok Mun, ketika tubuh Yua tiba-tiba ambruk di hadapannya. Tubuh Yua yang memang sudah memucat bertambah pucat. Suhu badannya terasa panas namun terdengar sedikit gertakan gigi Yua. "Toloooong!" Teriak mbok Mun, membuat Mang Ujang yang sedang mengurus kebun berlari ke arah mereka. Mama Willy yang sedari tadi sibuk membaca majalahnya dengan cepat bergegas keluar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. 
"Ya Allah, Yua." Pekik Mama Willy ketika melihat Kekasih anaknya itu tergeletak di lantai. "Mang Ujang, tolong angkat Yua ke kamar tamu. Sekarang!" Perintah Mama Willy. Terlihat jelas raut wajah panik di rona muka mama Willy, bagaimana tidak, dia mengenal Yua yang menurutnya gadis yang ceria dan manja ini, harus terkulai lemas. 



"Ini nyonya, kompresannya." Mbok Mun menyerahkan sebuah baskom yang berisi air hangat beserta lap kompres. 
"Makasih mbok." 
"Iya, nya. Kalo begitu mbok permisi dulu." 
Mama Willy hanya menanggapinya dengan senyuman. Setelah kepergian mbok Mun, mata wanita setengah baya ini terfokus pada gadis manis yang terkulai di ranjang. Dengan telaten dia mengkompres kening Yua, agar demamnya menurun. 
"Kak Willy" desah Yua. Dia mengingau memanggil nama Willy. Entah mengapa disudut matanya keluar cairan bening. Sebegitu sakitkah gadis ini? 
Mama Willy terperanjat ketika kekasih anaknya itu mengingaukan nama anak semata wayangnya itu. Ditambah lagi isakan kecil perlahan terdengar dari bibir Yua, padahal kondisinya sedang tak sadarkan diri. Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Timbul banyak pertanyaan di benak Mama Willy. 
*** 
Bruuuumm! Ckit! 
Brak! 
"Eh den Willy." Ucap Mbok Mun. Yang ketika itu Mbok Mun sedang membawakan semangkuk bubur dan segelas air putih beserta beberapa obat. Willy heran dengan bawaan Mbok Mun. 
"Itu bubur buat siapa? Terus siapa yang sakit?" Ucap Willy sedikit panik. 
"Hmm. Buat...." Belum sempat Mbok Mun meneruskan kalimatnya. Ponsel Willy berdering. 'Tlilit' 
"Halo" Willy mengisyaratkan kepada Mbok Mun untuk pamit ke kamarnya. Mbok Mun mengangguk, lalu pergi mengantarkan isian nampan itu ke kamar tamu, tempat Yua berada.
*** 
"APA?! Yua gak ada? Kok bisa?" 
"...." 
"Coba deh cek lagi" 
"...." 
"Dia gak sama aku kok" 
"...." 
Klik! 
"ERGH!" Dengan kesal dia meremas rambutnya. 'Harusnya aku gak ngelakuin ini' rasa sesal kini berkecamuk di hatinya. 
*** 
"BabyKeeeeeev! Hiks~" 
"Iya, kenapa sayang? Loh loh kok nangis?" Kevin panik ketika melihat Kimmy menangis tersedu-sedu. 
"Yua.. Hiks" 
"Yua kenapa?" Tanya Kevin bingung. Yua? Ada apa dengan adiknya? Hingga Kimmy menangis terisak begini? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala Kevin. 
"Yua gak ada di kamarnya. Aku hubungi dia tapi HP nya gak aktif. Hiks.. Hiks.. Terus aku tadi nemuin ini..." Kimmy menyodorkan puing-puing Ponsel Yua yang berserakan di lantai kamar Yua, saat dia mencari Yua. Kimmy terus menangis. Kevin memeluk Kimmy, dan menenangkannya. Walau jauh di lubuk hatinya, Kevin tak tenang. Namun ia mencoba menutupi kepanikannya. Kalau sama-sama panik, siapa yang mau menguatkan? Pikir Kevin. 
"Kamu tenang ya, sayang. Aku yakin, Yua aman." Kevin meyakinkan Kimmy dan dirinya sendiri. Dia tak ingin pikiran negatif menyelimuti hati dan otaknya. 
*** 
"Ini nyonya, bubur dan obatnya" Mbok Mun menyimpan nampan itu di meja pinggir ranjang Yua. Saat itu Mama Willy sedang mengelus-elus rambut Yua, agar Yua tenang. 
"Makasih Mbok Mun. Oh ya, Willy sudah pulang?" 
"Sudah Nya. Tadi Mbok sempat bertemu di depan" 
"Oh, kalo begitu, tolong jaga Yua, ya, Mbok. Saya mau bertemu Willy dulu." Mama Willy mengelus kening Yua sebentar, lalu pergi menuju kamar Willy. 
"Baik Nya." 
*** 
CKLEK! 
Seorang pemuda yang sedang asyik memainkan Play Station untuk menghilangkan kegalauannya itu tampak terkejut ketika Mamanya memasuki kamarnya dan duduk tepat disampingnya. 
"Ada apa, Ma?" Willy kembali memainkan PSnya. 
"Mama mau bicara." Ucap Mama Willy dengan tegas dan membuat Willy menghentikan sejenak aktifitasnya. 
"Bicara apa, Ma? Kayaknya serius banget nih." Tebak Willy. 
"Ada masalah apa, kamu sama Yua?" Deg! Pertanyaan Mamanya membuat perasaannya tak karuan. 
"Ah engga kok Ma, Willy sama Yua gak ada masalah kok" Jawab Willy berdusta. 'Maafkan aku, Ma' sesalnya dalam hati. 
"Ck" Mama Willy hanya berdecak kesal. Karena dia tahu, anaknya sedang menyembunyikan sesuatu. 
Semua terdiam... 
"Oh iya, Ma. Tadi aku liat Mbok Mun, bawa bubur plus obat. Emang siapa yang sakit? Bukan Mama, kan?" Ucap Willy mencoba mencairkan suasana yang mulai tak enak saat itu. Sedalam-dalamnya menyembunyikan rahasia, pasti akan tercium baunya. Dia mengalihkan pembicaraannya. Willy tak ingin Mamanya mengetahui masalahnya. Willy sudah dewasa dan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Prinsip Willy. 
"Bukan Mama." 
"Terus?" 
"Kamu mau tau?" Willy mengangguk cepat. Tak tahu mengapa hatinya mulai tak karuan. Ada secuil rasa sakit di hatinya. Entah karena apa. Tanpa mengatakan sesuatu Mama Willy beranjak keluar dari kamar Willy, dan tanpa disuruh Willy membuntuti Mamanya. 
'Kamar tamu?' Tanya Willy dalam hati. Willy heran mengapa Mamanya berjalan menuju kamar tamu. 
CKLEK! Pintu kamar itu terbuka. Terlihat seorang gadis masih tergolek lemas di ranjang yang nyaman itu. Di sebelahnya ada Mbok Mun yang menggantikan Mama Willy untuk menjaganya. 
"Lihat Willy, dia sakit karenamu! Dan Mama sangat kecewa sama kamu!" 
DEG! 




To be a continue... 



Gimana part ini? Gaje kah? Aneh kah? Hahaha Thanks for reading. :) butuh kritik dan saran yaaaaaaaa. Makasih banyaaaaaaak :D Maaf yaaa kalo lanjutnya lama, ide suka mogok udah gitu di tambah tugas kampus yang sesuatu itu loh haha *curcol* 
Sekali lagi, makasih banyak! Lope lope di udara. Muaaaah (˘⌣˘)ε˘`) 




-dfg28-

Kamis, 24 Januari 2013

Hubungan Tanpa Status?! (Cerpen)


Hubungan tanpa status. Menjalin hubungan tanpa ada status yang menghalangi. Saling mencintai namun tak ada ikatan. Bagi mereka yang menjalani cinta, tak harus memiliki. Karena bagi mereka, cinta itu bukan untuk dimiliki dan diikat tapi untuk dirasakan. Mereka tak ingin ada yang mengekang, mereka hanya ingin bebas.

Brum.. Brum.. Ckit..
Sebuah motor berhenti dengan manis di parkiran. Seorang gadis yang dibonceng motor itu turun, diikuti dengan cowok yang mengendarainya. Sang gadis dengan setia menunggu cowoknya mengamankan motornya. “Hhh, kamu mau aku anter ke kelas, atau sendiri?” Tanya cowok yang berperawakan jangkung itu.
“Hmm. Yud, aku sendiri aja deh ya, soalnya buru-buru banget,  ada jadwal pak Komar bentar lagi.” Jawab gadis itu sembari mengembangkan senyum terindahnya. Cowok yang bernama Yudha itu mengangguk tanda setuju.
“Oke kalo gitu, aku duluan ya, Yud.” Pamitnya.
“Hati-hati ya, Jeng.” Yudha mengelus puncak kepala Ajeng, sebelum Ajeng melangkah pergi. Ajeng tersenyum dengan perlakuan Yudha padanya. Lalu pergi.

Rasa cinta itu makin membuncah dalam hatinya. Entah karena apa. Yang pasti sangat terasa mengalir.

***
Pelajaran pak Komar telah usai. Para mahasiswa berhamburan keluar kelas. Ada yang nongkrong di kantin, di taman, dan bagi si rajin pasti lari ke perpustakan. Tapi dua gadis ini lebih senang nongkrong di taman, liat orang lalu lalang, liat pemandangan yang menyejukan.
“Jeng!” Panggil seorang disampingnya.
“Hmm.” Ajeng membalas dengan deheman, karena dia sibuk BBM-an dengan temen HTS-nya itu.
“Jeng!” Panggilnya lagi.
“Hmm.” Lagi-lagi Ajeng menjawabnya dengan deheman. Dan itu membuat orang disampingnya geram.
“AJENG!!!” Kali ini dengan teriakan orang itu memanggil Ajeng. Dan membuat Ajeng menoleh kaget.
“Apa-apaan sih lo, Kar! Sekali panggil juga gue denger kali.” Dengusnya kesal. Ajeng mengusap-usap telinganya, memajukan beberapa centi bibirnya dan mengembungkan pipinya -pertanda dia sedang manyun-
“Abisnya gue panggilin, elo nya malah 'hmm hmm' aja.” Ucap Karina gak kalah sengit.
“Ya, tapi kan, gue ngedenger Karina sayanggggg.” Cibir Ajeng. Membuat Karina memutar bola matanya sebal.
“Ngedenger sih ngedenger, tapi lo gak fokus dan gak akan ngerti sama apa yang gue omongin.” Ketusnya.
“Hhh, ya udah, maafin gue ya, Karina. Gue khilaf.” Ucap Ajeng sekenanya. “Oh ya, lo mau ngomong apaan sih?!”
“Lo pacaran sama Yudha?” Pertanyaan Karina membuat Ajeng termenung sesaat dan menjawab, “Hah? Pacaran? Engga kok. Temen doang.”
“Tapi lo cinta kan sama dia?” Tanya Karina lagi.
“Iya, gue cinta sama dia.” Aku Ajeng. Karina tercengang dengan jawaban Ajeng.
“Terus kenapa lo gak pacaran sama dia? Bukankah itu lebih baik, daripada hubungan tanpa status?” Ucap Karina berpendapat.
“Gue lebih nikmati hubungan tanpa status. Bukankah cinta itu tak harus memiliki?” Jawab Ajeng santai. Ya, itulah prinsipnya, dia selalu berpikir seperti apa yang pepatah bilang. Cinta tak harus memiliki.
“Hhh, oke lah kalo itu keputusan lo. Gue hanya bisa ngedukung.” Karina bingung harus bicara apalagi. Toh, Ajeng akan tetap pada pendiriannya, sampai dia sendiri yang ingin merubahnya.

“Jeng!”
“Apa sih, Kar?”
“Itu Yudha, kan?” Kata Karina sambil menunjuk Yudha yang tengah berjalan. “Tapi itu cewek siapanya dia?” Yups, Yudha tengah berjalan di koridor kelas yang terlihat dari taman dengan seorang gadis. Ajeng menoleh kearah yang ditunjukan Karina. Sret. Ada sedikit rasa ngilu di hatinya. Tapi karena apa?
“Jeng, lo gak apa-apa kan?” Tanya Karina yang khawatir melihat ekspresi Ajeng yang sulit di persentasikan. Ajeng tersadar dari lamunannya.
“Hehe, gak kok gue gak apa-apa, biasa aja.” Jawab Ajeng kikuk. Matanya terus menyorot ke arah Yudha dan gadis itu yang telah terduduk disalah satu bangku, tepat di sebrangnya.
“Tapi lo cemburu, kan?” Introgasi Karina. Rupanya Karina mengerti dengan perasaan Ajeng. Toh kalau Karina di posisi Ajeng, mana tahan harus begitu.
“Hah? Cemburu? Ah biasa aja kok.” Jawab Ajeng cepat. Dia merasakan lagi hal yang aneh. Ngilu.
“Lo yakin? Lo gak cemburu? Bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Berarti lo gak cinta dong.” Cerocos Karina. Yang membuat perasaan Ajeng makin tak karuan.
“Udahlah, gue pusing.” Ajeng beranjak pergi dari bangku taman, meninggalkan Karina yang bingung.

Suatu saat kau akan menyadari, sekuat apa pepatah yang bilang cinta yang tak harus memiliki itu. Biarkan waktu yang menjawab semua pertanyaan ini. Apakah cinta itu harus memiliki, atau tidak sama sekali?

***
“Hei, Yud.” Sapa seorang gadis. Membuat si empunya nama menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara.
“Hei, Nes” Yudha menyapa balik. Gadis yang bernama Vanessa itu berjalan mendekati Yudha.
“Sendiri aja?” Tanya Vanessa, yang melihat Yudha membulak-balikan bukunya, membuka lembar-lembar selanjutnya.
“Keliatannya?” Jawab Yudha seadanya.
“Tumben gak bareng Ajeng, biasanya kan kalian selalu berdua.” Yudha melihat bangku kosong langsung terduduk diikuti dengan Vanessa yang duduk disampingnya. Yudha menoleh ke arah Vanessa sesaat, lalu memalingkan lagi ke arah bukunya. “Dia bareng Karina. Lagian gak harus setiap saat kan kita berdua?”
“Ya sih, tapi, bukannya Ajeng itu pacar lo ya?” Yudha menutup bukunya. Pandangannya beralih ke Vanessa.
“Kata siapa? Dia bukan pacar gue kok, kita cuma berteman. Ya, berteman.” Jawab Yudha mantap. Matanya mengedar melihat sekelilingnya, dan tepat di sebrangnya, terdapat Ajeng dan Karina yang diam-diam memperhatikannya.
“Cuma temen?” Vanessa menyerngitkan dahinya. Sulit di percaya. Lalu apa maksud dari kedekatan mereka yang sangat intens itu. Pulang pergi bareng, dan tak jarang Vanessa melihat mereka berdua hang out berdua, dan di balik semua itu tak ada suatu hubungan yang lebih. Yudha mengangguk pasti. “Loh kenapa?”
“Karena gue gak ingin jadi gak bebas karena suatu komitmen yang mengikat kita. Toh, Ajeng pun fine aja dengan semua ini. Karena kita sama-sama cinta dan sama-sama ingin bebas.” Terang Yudha. Dia melirik ke sebrang, dan ternyata Ajeng sudah tak berada disana lagi.
“Gue duluan ya, Nes.” Yudha beranjak pergi. Meninggalkan Vanessa yang memiliki sejuta pertanyaan di benaknya.

***
Seperti biasa Yudha selalu menyempatkan dirinya untuk mengunjungi perpustakaan. Dimana berbagai sumber ilmu di temukan disana. Saat perjalanan tengah menuju perpustakaan, Yudha melihat Ajeng yang terjatuh dan buku-buku yang berserakan di bawahnya. Belum sempat Yudha menghampiri Ajeng. Seorang cowok datang dan membantu Ajeng berdiri dan memungut buku-bukunya. Dan itu membuat Yudha mengurungkan niatnya. Saat melihat kejadian itu, hal lain di rasakan Yudha. Entah apa. Yudha kembali ke tujuan awalnya, yakni perpustakaan.

Tahukah kamu, apa yang aku rasakan saat melihat kalian berdua? Hati ini mendadak terbakar. Oh, panasnya.

***
“Yudha!” Panggil Ajeng. Tak ada sahutan, tak ada respon sama sekali. Dengan tatapan bingung Ajeng menghampiri Yudha. Tapi tetap saja dia dianggap angin lalu. “Yudha!” Lagi-lagi tak ada jawaban, Yudha malah asyik membaca bukunya. Lama-lama kekesalan mulai tumbuh di benak Ajeng. Srek! Buku yang di baca Yudha, di ambil paksa oleh Ajeng.
“Lo apa-apaan sih?” Tanya Yudha dengan mata bernyala-nyala, tersulut amarah. Bukan takut, Ajeng menatap dengan tatapan menantang.
“Lo tuh yang apa-apaan? Gue sapa, lo gak jawab. Lo tuh kenapa sih? Tiba-tiba berubah kayak gini.” Gertak Ajeng. Tak ada lagi aku-kamu, hanya lo-gue dan amarah yang berkecamuk disana.
“Masalah buat lo? Udahlah gue capek!” Yudha pergi meninggalkan Ajeng. Ajeng merasa ada yang berubah dari diri Yudha, tapi karena apa? Tanpa dia sadari air mata menetes dengan lancarnya.
“Lo kenapa, Yud? Lo gak cinta lagi sama gue?” Gumamnya lirih.


“Yudha! Ihh, jangan cubit idung aku!” Ringis Ajeng kesal. Yudha terkekeh melihat ekspresi Ajeng yang begitu menggemaskan. Dia senang, saat Ajeng mendengus kesal akibat kejailannya. Baginya, Ajeng adalah cewek unik dan apa adanya. Yudha mengelus puncak kepala Ajeng, dia sangat menyayangi Ajeng, meski Ajeng bukan miliknya.
“Maaf ya.” Ucap Yudha sambil tersenyum. Dan karena senyum Yudha mau tak mau Ajeng ikut tersenyum.
“Jeng, liat deh, kamu ngerti gak maksud dari soal ini?” Tanya Yudha sambil memperlihatkan soal yang tidak dimengertinya. Ajeng membaca soal itu dan memahami soal itu.
“Jadi gini Yud, bla bla bla bla....” Ajeng menjelaskan sejelas-jelasnya. Yudha mengangguk-angguk tampak mengerti. “Kamu ngerti kan, Yud?” Yudha tersenyum dan menjawab, “aku ngerti, Jeng. Makasih ya.”


“Bahkan, lo lebih milih minta penjelasan dari Vanessa di banding aku. Kamu berubah, Yud!” Gumam Ajeng, saat melihat sosok yang dia cintai sedang mendiskusikan tugasnya dengan cewek lain di perpustakaan.

***
Seperti hari-hari biasanya Yudha menunggu Ajeng di parkiran seusai pulang kuliah. Tapi, orang yang ditunggu-tunggunya tak terlihat batang hidungnya. Yudha yang sedang celingak-celinguk mencari sosok Ajeng, tak terduga bertemu dengan Karina-sahabat Ajeng-.
“Hei, Kar!”
“Eh Yud, ada apa?”
“Lo liat Ajeng?” Tanya Yudha. Biasanya dimana ada Karina pasti ada Ajeng. Selain sama dirinya, pasti Ajeng sedang bersama Karina. Tapi kini? Karina hanya sendirian dan Ajeng tak bersamanya.
“Ajeng? Dia masih di kelas, Yud. Masih nyalin materi.”
“Hmm” Yudha hanya berdehem.
“Eh Yud, gue duluan ya. Bye!” Sepeninggalan Karina, Yudha berlari menuju kelas Ajeng. Baru saja sampai persimpangan sebelum kelas Ajeng, dia menatap sosok gadisnya bersama seorang lelaki.

“Eh, Jeng.”
“Iya, Ga, ada apa?”
“Lo mau gak pulang bareng sama gue?” Tawar Rangga -lelaki yang bersama Ajeng tadi-. Ajeng tampak berpikir lalu mengangguk tanda setuju.
“Yuk!” Rangga menggenggam tangan Ajeng. Dan pergi. Ajeng tak menyadari ada sosok yang memperhatikannya sedari tadi. Sosok itu mengepal tangannya geram.

“Lo berubah, Jeng. Bahkan lo gak mau pulang bareng gue lagi. Argh!” Orang itu menendang kesal tempat sampah yang ada di depannya.

Cemburu menguras hati, galau kini menyiksa diri. Kembalilah kau kekasihku, jangan putuskan kau tinggalkan aku.

***
Keesokan harinya...
Bugh!
Satu pukulan mendarat mulus di pipi lelaki berperawakan jangkung ini.
Bugh!
Satu pukulan lagi tepat di perut lelaki tadi. Tak ada perlawanan darinya. Karena dirinya tak di beri kesempatan untuk melawan.

***
“Jeng... Jeng... Lo harus ke lapangan sekarang! Yudha sama Rangga berantem!” Ucap Karina memberitahu Ajeng. Keduanya kini berlari ke arah lapangan.

***
Dengan nafas yang memburu, mata yang berkilat-kilat, amarah yang meluap-luap, Yudha menarik kerah Rangga yang meringgis kesakitan.
“Lo kenapa sih, Yud?” Ucap Rangga terengah-engah. Sedikit rasa kesal terdengar dari nada suaranya.
“Gue minta sama lo, jangan pernah lo deketin Ajeng! Ngerti lo!” Ucap Yudha dengan penuh penekanan. Rangga tersenyum meremehkan.
“Bukannya Ajeng tuh bukan siapa-siapa lo ya?! Kok lo rempong banget sih, kalo dia deket sama gue?” Kata Rangga sinis. Yudha menatap tajam mata Rangga. Tangannya siap-siap melayangkan pukulannya. Belum sampai tangan itu mendarat di tubuh Rangga, Ajeng datang menghampiri.
“STOP!!!” Ajeng memisahkan Yudha dan Rangga.
“Kalian berdua ini apa-apaan sih?! Kayak anak kecil aja pake acara berantem-beranteman, hah?!” Ucap Ajeng kesal.
“Mending lo tanya deh sama 'pacar' lo ini?!” Rangga menekankan nada bicaranya saat menyebutkan 'pacar'. Tanpa menunggu jawaban Ajeng. Rangga pergi meninggalkan mereka berdua dengan tertatih-tatih. Anak-anak yang tadi sibuk memperhatikan mereka sudah diamankan oleh Karina. Dan kini, di lapangan hanya ada Ajeng dan Yudha.

“Kamu kenapa sih, Yud?!”
“Aku mau kamu jadi pacar aku!” Tukas Yudha, tanpa menjawab pertanyaan Ajeng. Mungkin itu salah satu alasannya. Pernyataan Yudha, membuat Ajeng terkejut hebat. Bukankah hubungan tanpa status adalah kesepakatan mereka, lalu kenapa Yudha menginginkan adanya status diantara mereka?!
“Kamu egois Yud!” Ketus Ajeng. Mata Ajeng mulai berkaca-kaca. “Kamu ingetkan komitmen kita sejak awal. Kita memang saling mencintai, tapi kita ingin terbebas dari sebuah ikatan. Kamu inget, kan Yud?!” Kini Ajeng mulai terisak. Susah memang mengutarakan apa yang bertolak belakang dengan hatinya.
“Tapi Jeng, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Aku sadar, komitmen kita sejak awal itu hanya buat kita berharap. Mebuat kita terlarut di lautan semu. Perlu kamu tau, aku cemburu saat kamu berdekatan dengan Rangga. Aku ingin marah Jeng, tapi saat itu aku sadar kamu bukan milik aku, aku ciut.”
“Tap...” Belum sempat Ajeng menjawab. Yudha menyimpan telunjuknya tepat di depan bibir Ajeng.
“Sekarang aku mau nanya sama kamu. Kamu sayang kan sama aku?” Ajeng mengangguk sambil terisak.
“Aku tahu, kamu cemburu kan pas aku deket sama Vanessa?” Lagi-lagi Ajeng mengangguk. Yudha tersenyum. Dengan sigap Yudha memeluk Ajeng yang tengah terisak. Tangannya mengelus puncak kepala Ajeng. Nyaman. Itu yang dirasakan Ajeng.
“Kamu mau kan jadi pacar aku?” Bisik Yudha. Ajeng mengangguk dipelukan Yudha. “Kok aku gak denger?”
“Iya Yudha, aku mau.” Dieratkannya pelukan itu. Ajeng mengadah keatas, menatap Yudha yang juga sedang menatapnya.
“I love you, Ajeng”
“I love you too, Yudha”
Yudha mengecup lembut kening Ajeng. Dan kembali direngkuhnya tubuh mungil itu.

Seberapa kuatkah hubungan tanpa status itu? Sekuat apakah cinta yang tak harus memiliki itu? Semuanya terasa semu. Hanya harapan kosong yang ada disana. Keegoisan untuk saling memiliki itu pasti ada. Dan dalam hal cinta, itu tak dapat dipungkiri.