CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 15 Juli 2012

Let it Flow (cerpen)


"Maaf." Ucap seorang pemuda dengan lirih. Dia terus memandangi gadis yang perlahan menjauh. Pergi. Dan menghilang.

***

"Siang, Stefan." Ucap seorang gadis dengan mengembangkan senyuman indahnya.
"Hmm." Jawabnya singkat. Pemuda itu masih terus berkutat dengan laptop yang ada di hadapannya. Tanpa menoleh ke arah gadisnya itu.
"Stefan, makan dulu, yuk! Kata mama, kamu belum makan. Nanti kamu sakit, loh." Ucap gadis itu penuh perhatian. Stefanpun menoleh kasar. Menatap gadis itu tajam.
"Lo gak liat, hah?! Gue itu lagi beresin kerjaan gue! Kalo lo laper, makan aja duluan! Jangan ajak-ajak gue!" Ucap Stefan dengan sedikit membentak. Gadis itu menunduk sebentar lalu mengangkat wajahnya lalu tersenyum tipis. Belum sempat gadis itu menjawab. Dengan cepat Stefan berkata, "Dan satu lagi! Jangan sok peduli lo sama gue! Udah sana, lo keluar dari ruangan gue!" Gadis itu tersentak, dia tak mampu berkata-kata lagi kalau tunangannya itu sudah marah.
"Ya udah, aku ke bawah dulu ya." Ucapnya lembut. Stefan tak menanggapinya. Rupanya Stefan telah kembali berkutat dengan pekerjaannya. Gadis itu tersenyum miris melihat kelakuan Stefan yang tak pernah bersahabat dengannya. Hatinya memang sakit. Tapi kalau sudah cinta mau bilang apa?

***

Hari demi hari mereka lalui. Namun, Stefan tak pernah mau merubah sikapnya. Bahkan semakin menjadi-jadi. Memang, mereka berdua tunangan bukan didasari dengan rasa cinta. Namun karena perjodohan yang memaksa mereka untuk bersatu. Awalnya Yuki sempat menolak pertunangan ini, entah rayuan apa yang di layangkan oleh orang tuanya, akhirnya dia menerima perjodohan ini, hingga akhirnya dia menyukai Stefan. Lain Yuki, lain juga Stefan, dia menerima perjodohan ini karena dia tak ingin mengecewakan orang tuanya, bukan semata-mata dia mulai menyukai gadis itu. Bukan suka. Benci yang ada. Karena menurutnya Yuki hanyalah parasit dalam hidupnya, yang membuat dia harus terjerumus dalam limbah perjodohan.

"Stef, kesana, yuk!" Ajak Yuki sambil menarik tangan Stefan. Namun dengan cepat Stefan menangkis tangan Yuki. Yuki yang menyadari sikap Stefan itu hanya bisa menghela nafas. Karena ini sudah biasa baginya.
"Ya udah. Inget! Gak usah pake pegang-pegang! Ngerti!" Bentak Stefan lalu pergi meninggalkan Yuki. Yuki tersenyum tipis kemudian dengan langkah cepat dia menyusul Stefan.

***

Aku tak tau, mengapa aku bertahan dengan rasa sakit ini. Ingin sekali aku menghentikan rasa ini, namun semakin aku ingin menghapus luka ini semakin aku mencintainya. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Aku ingin menghentikan luka yang terus mengalir ini. Aku tak sanggup, ya Allah. Benar-benar tak sanggup.

Yuki menutup diarinya. Dia menangis terisak, menenggelamkan wajahnya di tangannya yang berada di meja. Sepertinya samurai di hatinya semakin menancap. Bahkan mulai merobek-robek hatinya.

***

"Apa tante? Stefan sakit? Iya iya tante, Yuki akan segera kesana." Dengan segenap rasa khawatir Yuki pergi melesat ke kediaman Stefan.

***

Terlihat seorang pemuda sedang tergolek lemas di kasur empuk di kamarnya. Wajahnya terlihat pucat, namun tak mengurangi ketampanannya. Terlihat pula ada gadis yang setia di sampingnya, menjaga dan memerhatikan gerak-geriknya.
"Ngapain lo liatin gue!" Ucap Stefan ketus.
"Hmm, gak. Ternyata lelaki kaya kamu bisa sakit juga ya." Ucap Yuki sambil menyibakan rambut Stefan yang sedikit menghalangi matanya. Stefan yang di perlakukan seperti hanya bisa diam. Sepertinya dia merasakan suatu kenyamanan yang belum pernah ia rasakan.
"Gue juga manusia kali, Ki!" Dengus Stefan kesal.

Tok. Tok. Tok.
Yuki berdiri dari duduknya, lalu membukakan pintu kamar Stefan. Di dapati bik Minah yang membawa nampan.
"Non Yuki, ini makan dan obatnya buat Den Stefan." Bik Minah menyerahkan nampan yang di atasnya terdapat semangkuk bubur dan terdapat pula beberapa bungkus obat serta segelas air putih.
"Makasih ya, bik." Ucap Yuki sambil mengambil nampan itu.
"Iya, non."Jawab bik Minah. Yuki tersenyum lalu masuk kembali ke kamar Stefan.

"Fan, makan dulu ya. Biar cepet sembuh." Ucap Yuki sambil menyodorkan sesendok bubur. Stefan memalingkan wajahnya.
"Ayo, dong Stef. Kamu gak mau, kan sakit terus?" Bujuk Yuki. Namun Stefan tetap memalingkan wajahnya.
"Stef, please. Makan ya." Bujuk Yuki lagi.
"Gue gak mau, Yuki!" Bentak Stefan sambil menangkis sendok yang di sodori oleh Yuki, hingga jatuh tumpah ke lantai. Yuki tersentak. Dia mengambil sendok yang di lantai lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkannya.

"Di makan ya. Biar gak lemes." Yuki kembali menyodorkan lagi sendoknya. Lagi-lagi Stefan tak mengindahkannya.
"Gue bilang, gue gak mau! Jangan mentang-mentang lo tunangan gue, lo bisa seenaknya maksa gue. Apa peduli lo, hah?! Lo itu cuma tunangan yang gak pernah gue anggap!" Sentak Stefan.
"Aku peduli sama kamu, Stef! Aku gak mau liat kamu lemes gini! Sakit Stef, liat orang yang kita sayang terkulai lemas kaya gini. Sakit. Terserah, kamu mau anggap aku atau gak. Yang pasti, aku peduli sama kamu, Stef. Aku tulus." Yuki telah mengungkapkan semuanya. Mengungkapkan rasa sayangnya pada Stefan. Yuki terisak. Hatinya tak mampu menahan parasaannya. Yuki menghapus air matanya kasar. Lalu tanpa peduli apa lagi yang akan Stefan lakukan, dia tetap berusaha membujuk Stefan untuk makan.
"Please, Stef. Makan ya. Demi kamu. Demi orang tua kamu. Setelah selesai makan, aku akan turutin apa yang kamu mau." Dengan malas Stefan membuka mulutnya, dan memakan bubur yang di suapkan Yuki. Suapan demi suapan terus di lakukan, tanpa terasa bubur di mangkuk itu pun habis.
"Udah, kan, makannya?! Sekarang gue minta lo pergi darisini! Dan putusin pertunangan kita!" Ucap Stefan dengan nada datar. Yuki terbelalak. Bagaimana dia bisa membatalkan pertunangan ini? Disaat hatinya, telah terlanjur menyayangi Stefan.
"Lo bisa pergi sekarang juga!" Ucap Stefan lagi tanpa sedikitpun menoleh ke arah Yuki. Sret. Robekan luka di hati Yuki makin besar. Hati Yuki benar-benar hancur.  Dengan berat hati Yuki melangkah pergi. Lalu berhenti sejenak.
"Sebelumnya aku minta maaf. Karena udah masuk ke kehidupan kamu. Dan aku juga berterimakasih, karena aku pernah menjadi bagian hidup kamu, sekalipun aku gak pernah di anggap sama kamu. Sekali lagi, maaf." Kini Yuki benar-benar pergi dari kamar Stefan.

***

"Apa, jeng? Yuki masuk rumah sakit?"
Jleb. Ada sebuah pisau tajam menusuk ulu hati seorang pemuda yang tidak sengaja mendengar pembicaraan mamanya dengan seorang di sebrang sana. Hatinya merasa tak tenang.

"Stefan, kamu ada disini?" Tanya sang mama, setelah memutuskan sambungan teleponnya.
"Yuki, kenapa ma?!" Tanya Stefan tanpa membalas pertanyaan mamanya.
"Yuki kecelakaan, Stef. Saat perjalanan pulang dari sini." Ucap mama tercekat. Dia sedih karena calon menantunya terkena musibah. Sedangkan Stefan, rasa bersalah mulai menghantui hatinya.
"Kalo gitu, kita harus ke rumah sakit sekarang, ma!" Ajak Stefan. Mamapun mengangguk lalu dengan cepat merekapun meluncur ke Rumah sakit tempat Yuki di rawat.

***

Terlihat sepasang suami-istri sedang duduk di kursi yang tersedia di luar ruangan. Terlihat jelas sang istri sedang menangis tersedu-sedu di dekapan suaminya.

"Tante, om,  gimana keadaan Yuki sekarang?" Entah mengapa, Stefan berubah menjadi care pada Yuki. Suami-istri itu mendongak ke atas lau berdiri menghampiri, ibu dan anak itu.
"Keadaannya kritis, Fan." Mama Yuki kembali terisak di pelukan suaminya. Papa Yuki mengusap punggung istrinya, agar lebih tenang.
Mama Stefanpun juga ikut menangis, dia memeluk Stefan yang syok dengan keadaan Yuki. Entah apa yang kini di rasakan, yang pasti rasa bersalah, sedih dan takut menjadi satu.

Ketika mereka sedang asyik dengan fikiran, tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan Yuki, di sertai dengan suster yang berada di belakangnya.
"Keluarga dari pasien Yuki?!" Tanya seorang suster yang baru saja keluar dari ruangan Yuki. Sontak merekapun langsung menghampiri sang dokter.
"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" Tanya Mama Yuki cepat.
"Temuilah sekarang."
"Maksud dokter?" Tanya mereka serempak.
"Kesempatan takkan dua kali, cepat temuilah."
Dengan cepat mereka masuk ke ruangan Yuki. Terlihat tubuh Yuki yang penuh dengan luka akibat tabrakan tadi.

"Ma..ma.. Pa..pa.." Ucap Yuki lemah. Mama dan papanya Yuki langsung mendekat.
"Ada apa sayang? Mana yang sakit?" Tanya Mama Yuki sambil mengelus rambut Yuki.
"Hati Yuki, ma." Jawab Yuki lirih.
"Hati Yuki kenapa?" Mama Stefan mulai angkat bicara. Yuki sedikit terkejut karena dia baru menyadari bahwa ada orang lain selain orang tuanya.
"Sakit, tante. Sakit banget. Sakitnya melebihi sakit yang Yuki rasa di badan Yuki. Yuki gak kuat." Yuki terisak lemah. Mama Yuki dan Mama Stefan mengelus-elus kepala dan tangan Yuki yang di tutupi perban. Mencoba memberikan energi kepada gadis ini.
"Yuki, kuat ya, sayang. Kamu harus kuat. Demi mama sama papa kamu. Demi tante, demi semuanya dan juga demi Stefan tunangan kamu, ya, sayang." Bisik Mama Stefan lirih.
"Stefan?" Lirih Yuki. Yuki menyadari akan satu hal. Hatinya sakit karena Stefan. Dia juga sadar Stefan ada di dekatnya. Stefan bertukar posisi dengan mamanya agar dapat lebih dekat dengan Yuki. Untuk apa Stefan kesini? Bukannya dia gak pernah peduli sama Yuki?
"Maaf." Kata itu terlontar dari bibir Stefan. Orang tua mereka yang mengerti, mulai menjauh dari ranjang, membiarkan anak-anak mereka bicara dari hati ke hati.
"Gak ada yang perlu di maafkan." Ucap Yuki setengah berbisik.
"Maaf, aku tau, aku..."
"Sst." Jari telunjuk Yuki di tempelkan ke bibir Stefan, agar Stefan tak melanjutkan perkataannya.
"Sekarang, kamu pasti seneng, karena aku akan pergi dari kehidupan kamu. Hhh. Dan kamu juga gak perlu bingung untuk memutuskan pertunangan ini. Hhh." Yuki menghela nafasnya dengan berat. Lalu melanjutkan lagi perkataannya, "Aku gak kuat, Stef. Sepertinya, malaikat pencabut nyawa sudah berada di dekatku sekarang."
"Kamu gak boleh ngomong gitu, Ki." Yuki menggeleng pelan. Stefan terus memegang erat tangan Yuki. Tanpa terasa, bulir-bulir airmata mulai menetes membasahi pipi Stefan. Stefan sadar, dirinya tak ingin gadis yang ada di hadapannya ini pergi meninggalkannya. Kalau sampai itu terjadi, dia akan mengutuki dirinya sendiri, karena telah menyia-nyiakan gadis yang menyayanginya dengan tulus.
"Perlu kamu tau, aku sayang sama kamu, Fan. Dan rasa itu tulus, bukan karena keterpaksaan. Hhh." Nafas Yuki mulai tersengal-sengal.
"Cukup, Ki. Maaf, aku udah buat kamu menderita. Maaf, aku udah sia-siain rasa sayang kamu buat aku. Maaf."
"Justru hh aku hh yang hh harus hh mintamaaf . Maafin aku hh, Fan." Ucap Yuki tersendat-sendat.
"Gak, Yuki! Aku yang salah. Maafin aku yaa."
Yuki tak menjawab. Dia tersenyum sambil menahan rasa nyerinya.
"Aku hh sayang hh kamu hh, Fan hh." Yuki menghembuskan nafas terakhirnya.


"YUKIIII!!!" Teriak Stefan histeris. Keringat membasahi pelipisnya dan mengucur membuat aliran sungai kecil di wajahnya. Stefan mengerjap-ngerjap matanya. Memfokuskan bidik matanya. Terdapat sosok seorang gadis yang datang menghampirinya. Stefan bangkit dari tempat tidurnya. Lalu menghampiri gadis itu dan memeluknya dengan erat.

"Loh, kamu kenapa, Fan?" Tanya gadis itu heran. Stefan melepaskan pelukannya, di pegangnya pipi gadis itu dengan kedua tangannya.
"Aku sayang sama kamu, Ki. Aku takut kehilangan kamu." Ucap Stefan lembut lalu menarik Yuki kembali dalam pelukannya. Tanpa ragu, Yukipun membalas pelukan Stefan.
"Aku juga sayang kamu, Fan." Jawab Yuki.
"Maafin aku ya. Aku sempat menolak pertunangan ini. Maaf." Ucap Stefan penuh dengan penyesalan.
"Iya, Fan." Stefan mengeratkan pelukan itu tanpa ingin melepasnya. Dia takut mimpi itu menjadi kenyataan. Tapi satu hal, yang dia pelajari dari mimpi itu, jangan menyia-nyiakan orang yang sayang terhadap kita.

Cinta datang dengan seiring berjalannya waktu. Walau dalam perjodohan sekalipun. Karena kebersamaanlah yang mampu buat cinta itu hadir. Dan hidup itu seperti air yang mengalir mengikuti alurnya. Meskipun ada pusaran air di depannya, tapi masih dapat di lewatinya. Terkesan pasrah namun tetap sejalan.