"Maaf." Ucap seorang pemuda dengan lirih.
Dia terus memandangi gadis yang perlahan menjauh. Pergi. Dan menghilang.
***
"Siang, Stefan." Ucap seorang gadis dengan
mengembangkan senyuman indahnya.
"Hmm." Jawabnya singkat. Pemuda itu masih
terus berkutat dengan laptop yang ada di hadapannya. Tanpa menoleh ke arah
gadisnya itu.
"Stefan, makan dulu, yuk! Kata mama, kamu belum
makan. Nanti kamu sakit, loh." Ucap gadis itu penuh perhatian. Stefanpun
menoleh kasar. Menatap gadis itu tajam.
"Lo gak liat, hah?! Gue itu lagi beresin kerjaan
gue! Kalo lo laper, makan aja duluan! Jangan ajak-ajak gue!" Ucap Stefan
dengan sedikit membentak. Gadis itu menunduk sebentar lalu mengangkat wajahnya
lalu tersenyum tipis. Belum sempat gadis itu menjawab. Dengan cepat Stefan
berkata, "Dan satu lagi! Jangan sok peduli lo sama gue! Udah sana, lo
keluar dari ruangan gue!" Gadis itu tersentak, dia tak mampu berkata-kata
lagi kalau tunangannya itu sudah marah.
"Ya udah, aku ke bawah dulu ya." Ucapnya
lembut. Stefan tak menanggapinya. Rupanya Stefan telah kembali berkutat dengan
pekerjaannya. Gadis itu tersenyum miris melihat kelakuan Stefan yang tak pernah
bersahabat dengannya. Hatinya memang sakit. Tapi kalau sudah cinta mau bilang
apa?
***
Hari demi hari mereka lalui. Namun, Stefan tak pernah mau
merubah sikapnya. Bahkan semakin menjadi-jadi. Memang, mereka berdua tunangan
bukan didasari dengan rasa cinta. Namun karena perjodohan yang memaksa mereka
untuk bersatu. Awalnya Yuki sempat menolak pertunangan ini, entah rayuan apa
yang di layangkan oleh orang tuanya, akhirnya dia menerima perjodohan ini,
hingga akhirnya dia menyukai Stefan. Lain Yuki, lain juga Stefan, dia menerima
perjodohan ini karena dia tak ingin mengecewakan orang tuanya, bukan
semata-mata dia mulai menyukai gadis itu. Bukan suka. Benci yang ada. Karena
menurutnya Yuki hanyalah parasit dalam hidupnya, yang membuat dia harus
terjerumus dalam limbah perjodohan.
"Stef, kesana, yuk!" Ajak Yuki sambil menarik
tangan Stefan. Namun dengan cepat Stefan menangkis tangan Yuki. Yuki yang
menyadari sikap Stefan itu hanya bisa menghela nafas. Karena ini sudah biasa
baginya.
"Ya udah. Inget! Gak usah pake pegang-pegang!
Ngerti!" Bentak Stefan lalu pergi meninggalkan Yuki. Yuki tersenyum tipis
kemudian dengan langkah cepat dia menyusul Stefan.
***
Aku tak tau, mengapa
aku bertahan dengan rasa sakit ini. Ingin sekali aku menghentikan rasa ini,
namun semakin aku ingin menghapus luka ini semakin aku mencintainya. Ya Allah,
apa yang harus aku lakukan. Aku ingin menghentikan luka yang terus mengalir ini.
Aku tak sanggup, ya Allah. Benar-benar tak sanggup.
Yuki menutup diarinya. Dia menangis terisak,
menenggelamkan wajahnya di tangannya yang berada di meja. Sepertinya samurai di
hatinya semakin menancap. Bahkan mulai merobek-robek hatinya.
***
"Apa tante? Stefan sakit? Iya iya tante, Yuki
akan segera kesana." Dengan segenap rasa khawatir Yuki pergi melesat ke
kediaman Stefan.
***
Terlihat seorang pemuda sedang tergolek lemas di kasur
empuk di kamarnya. Wajahnya terlihat pucat, namun tak mengurangi ketampanannya.
Terlihat pula ada gadis yang setia di sampingnya, menjaga dan memerhatikan
gerak-geriknya.
"Ngapain lo liatin gue!" Ucap Stefan ketus.
"Hmm, gak. Ternyata lelaki kaya kamu bisa sakit
juga ya." Ucap Yuki sambil menyibakan rambut Stefan yang sedikit
menghalangi matanya. Stefan yang di perlakukan seperti hanya bisa diam.
Sepertinya dia merasakan suatu kenyamanan yang belum pernah ia rasakan.
"Gue juga manusia kali, Ki!" Dengus Stefan
kesal.
Tok. Tok. Tok.
Yuki berdiri dari duduknya, lalu membukakan pintu
kamar Stefan. Di dapati bik Minah yang membawa nampan.
"Non Yuki, ini makan dan obatnya buat Den
Stefan." Bik Minah menyerahkan nampan yang di atasnya terdapat semangkuk
bubur dan terdapat pula beberapa bungkus obat serta segelas air putih.
"Makasih ya, bik." Ucap Yuki sambil
mengambil nampan itu.
"Iya, non."Jawab bik Minah. Yuki tersenyum
lalu masuk kembali ke kamar Stefan.
"Fan, makan dulu ya. Biar cepet sembuh."
Ucap Yuki sambil menyodorkan sesendok bubur. Stefan memalingkan wajahnya.
"Ayo, dong Stef. Kamu gak mau, kan sakit
terus?" Bujuk Yuki. Namun Stefan tetap memalingkan wajahnya.
"Stef, please. Makan ya." Bujuk Yuki lagi.
"Gue gak mau, Yuki!" Bentak Stefan sambil
menangkis sendok yang di sodori oleh Yuki, hingga jatuh tumpah ke lantai. Yuki
tersentak. Dia mengambil sendok yang di lantai lalu pergi ke kamar mandi untuk
membersihkannya.
"Di makan ya. Biar gak lemes." Yuki kembali
menyodorkan lagi sendoknya. Lagi-lagi Stefan tak mengindahkannya.
"Gue bilang, gue gak mau! Jangan mentang-mentang
lo tunangan gue, lo bisa seenaknya maksa gue. Apa peduli lo, hah?! Lo itu cuma tunangan
yang gak pernah gue anggap!" Sentak Stefan.
"Aku peduli sama kamu, Stef! Aku gak mau liat
kamu lemes gini! Sakit Stef, liat orang yang kita sayang terkulai lemas kaya
gini. Sakit. Terserah, kamu mau anggap aku atau gak. Yang pasti, aku peduli
sama kamu, Stef. Aku tulus." Yuki telah mengungkapkan semuanya.
Mengungkapkan rasa sayangnya pada Stefan. Yuki terisak. Hatinya tak mampu
menahan parasaannya. Yuki menghapus air matanya kasar. Lalu tanpa peduli apa
lagi yang akan Stefan lakukan, dia tetap berusaha membujuk Stefan untuk makan.
"Please, Stef. Makan ya. Demi kamu. Demi orang
tua kamu. Setelah selesai makan, aku akan turutin apa yang kamu mau."
Dengan malas Stefan membuka mulutnya, dan memakan bubur yang di suapkan Yuki.
Suapan demi suapan terus di lakukan, tanpa terasa bubur di mangkuk itu pun
habis.
"Udah, kan, makannya?! Sekarang gue minta lo
pergi darisini! Dan putusin pertunangan kita!" Ucap Stefan dengan nada
datar. Yuki terbelalak. Bagaimana dia bisa membatalkan pertunangan ini? Disaat
hatinya, telah terlanjur menyayangi Stefan.
"Lo bisa pergi sekarang juga!" Ucap Stefan
lagi tanpa sedikitpun menoleh ke arah Yuki. Sret. Robekan luka di hati Yuki
makin besar. Hati Yuki benar-benar hancur. Dengan berat hati Yuki melangkah pergi. Lalu
berhenti sejenak.
"Sebelumnya aku minta maaf. Karena udah masuk ke
kehidupan kamu. Dan aku juga berterimakasih, karena aku pernah menjadi bagian
hidup kamu, sekalipun aku gak pernah di anggap sama kamu. Sekali lagi, maaf."
Kini Yuki benar-benar pergi dari kamar Stefan.
***
"Apa, jeng? Yuki masuk rumah sakit?"
Jleb. Ada sebuah pisau tajam menusuk ulu hati seorang
pemuda yang tidak sengaja mendengar pembicaraan mamanya dengan seorang di
sebrang sana. Hatinya merasa tak tenang.
"Stefan, kamu ada disini?" Tanya sang mama,
setelah memutuskan sambungan teleponnya.
"Yuki, kenapa ma?!" Tanya Stefan tanpa
membalas pertanyaan mamanya.
"Yuki kecelakaan, Stef. Saat perjalanan pulang
dari sini." Ucap mama tercekat. Dia sedih karena calon menantunya terkena
musibah. Sedangkan Stefan, rasa bersalah mulai menghantui hatinya.
"Kalo gitu, kita harus ke rumah sakit sekarang,
ma!" Ajak Stefan. Mamapun mengangguk lalu dengan cepat merekapun meluncur
ke Rumah sakit tempat Yuki di rawat.
***
Terlihat sepasang suami-istri sedang duduk di kursi yang
tersedia di luar ruangan. Terlihat jelas sang istri sedang menangis
tersedu-sedu di dekapan suaminya.
"Tante, om, gimana keadaan Yuki sekarang?" Entah
mengapa, Stefan berubah menjadi care pada Yuki. Suami-istri itu mendongak ke
atas lau berdiri menghampiri, ibu dan anak itu.
"Keadaannya kritis, Fan." Mama Yuki kembali
terisak di pelukan suaminya. Papa Yuki mengusap punggung istrinya, agar lebih
tenang.
Mama Stefanpun juga ikut menangis, dia memeluk Stefan yang
syok dengan keadaan Yuki. Entah apa yang kini di rasakan, yang pasti rasa
bersalah, sedih dan takut menjadi satu.
Ketika mereka sedang asyik dengan fikiran, tiba-tiba
seorang dokter keluar dari ruangan Yuki, di sertai dengan suster yang berada di
belakangnya.
"Keluarga dari pasien Yuki?!" Tanya seorang
suster yang baru saja keluar dari ruangan Yuki. Sontak merekapun langsung
menghampiri sang dokter.
"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" Tanya
Mama Yuki cepat.
"Temuilah sekarang."
"Maksud dokter?" Tanya mereka serempak.
"Kesempatan takkan dua kali, cepat
temuilah."
Dengan cepat mereka masuk ke ruangan Yuki. Terlihat
tubuh Yuki yang penuh dengan luka akibat tabrakan tadi.
"Ma..ma.. Pa..pa.." Ucap Yuki lemah. Mama
dan papanya Yuki langsung mendekat.
"Ada apa sayang? Mana yang sakit?" Tanya
Mama Yuki sambil mengelus rambut Yuki.
"Hati Yuki, ma." Jawab Yuki lirih.
"Sakit, tante. Sakit
banget. Sakitnya melebihi sakit yang Yuki rasa di badan Yuki. Yuki gak
kuat." Yuki terisak lemah. Mama Yuki dan Mama Stefan mengelus-elus kepala
dan tangan Yuki yang di tutupi perban. Mencoba memberikan energi kepada gadis
ini.
"Yuki, kuat ya, sayang. Kamu
harus kuat. Demi mama sama papa kamu. Demi tante, demi semuanya dan juga demi Stefan
tunangan kamu, ya, sayang." Bisik Mama Stefan lirih.
"Stefan?" Lirih
Yuki. Yuki menyadari akan satu hal. Hatinya sakit karena Stefan. Dia juga sadar
Stefan ada di dekatnya. Stefan bertukar posisi dengan mamanya agar dapat lebih
dekat dengan Yuki. Untuk apa Stefan kesini? Bukannya dia gak pernah peduli sama
Yuki?
"Maaf." Kata itu
terlontar dari bibir Stefan. Orang tua mereka yang mengerti, mulai menjauh dari
ranjang, membiarkan anak-anak mereka bicara dari hati ke hati.
"Gak ada yang perlu di
maafkan." Ucap Yuki setengah berbisik.
"Maaf, aku tau,
aku..."
"Sst." Jari
telunjuk Yuki di tempelkan ke bibir Stefan, agar Stefan tak melanjutkan
perkataannya.
"Sekarang, kamu pasti
seneng, karena aku akan pergi dari kehidupan kamu. Hhh. Dan kamu juga gak perlu
bingung untuk memutuskan pertunangan ini. Hhh." Yuki menghela nafasnya
dengan berat. Lalu melanjutkan lagi perkataannya, "Aku gak kuat, Stef.
Sepertinya, malaikat pencabut nyawa sudah berada di dekatku sekarang."
"Kamu gak boleh ngomong
gitu, Ki." Yuki menggeleng pelan. Stefan terus memegang erat tangan Yuki.
Tanpa terasa, bulir-bulir airmata mulai menetes membasahi pipi Stefan. Stefan
sadar, dirinya tak ingin gadis yang ada di hadapannya ini pergi
meninggalkannya. Kalau sampai itu terjadi, dia akan mengutuki dirinya sendiri,
karena telah menyia-nyiakan gadis yang menyayanginya dengan tulus.
"Perlu kamu tau, aku
sayang sama kamu, Fan. Dan rasa itu tulus, bukan karena keterpaksaan. Hhh."
Nafas Yuki mulai tersengal-sengal.
"Cukup, Ki. Maaf, aku
udah buat kamu menderita. Maaf, aku udah sia-siain rasa sayang kamu buat aku.
Maaf."
"Justru hh aku hh yang
hh harus hh mintamaaf . Maafin aku hh, Fan." Ucap Yuki tersendat-sendat.
"Gak, Yuki! Aku yang
salah. Maafin aku yaa."
Yuki tak menjawab. Dia
tersenyum sambil menahan rasa nyerinya.
"Aku hh sayang hh kamu
hh, Fan hh." Yuki menghembuskan nafas terakhirnya.
"YUKIIII!!!" Teriak
Stefan histeris. Keringat membasahi pelipisnya dan mengucur membuat aliran
sungai kecil di wajahnya. Stefan mengerjap-ngerjap matanya. Memfokuskan bidik
matanya. Terdapat sosok seorang gadis yang datang menghampirinya. Stefan
bangkit dari tempat tidurnya. Lalu menghampiri gadis itu dan memeluknya dengan
erat.
"Loh, kamu kenapa,
Fan?" Tanya gadis itu heran. Stefan melepaskan pelukannya, di pegangnya
pipi gadis itu dengan kedua tangannya.
"Aku sayang sama kamu,
Ki. Aku takut kehilangan kamu." Ucap Stefan lembut lalu menarik Yuki
kembali dalam pelukannya. Tanpa ragu, Yukipun membalas pelukan Stefan.
"Aku juga sayang kamu,
Fan." Jawab Yuki.
"Maafin aku ya. Aku
sempat menolak pertunangan ini. Maaf." Ucap Stefan penuh dengan
penyesalan.
"Iya, Fan." Stefan
mengeratkan pelukan itu tanpa ingin melepasnya. Dia takut mimpi itu menjadi
kenyataan. Tapi satu hal, yang dia pelajari dari mimpi itu, jangan
menyia-nyiakan orang yang sayang terhadap kita.
Cinta datang dengan seiring
berjalannya waktu. Walau dalam perjodohan sekalipun. Karena kebersamaanlah yang
mampu buat cinta itu hadir. Dan hidup itu seperti air yang mengalir mengikuti
alurnya. Meskipun ada pusaran air di depannya, tapi masih dapat di lewatinya.
Terkesan pasrah namun tetap sejalan.